Kamis, 20 April 2017




Suatu ketika telinga kita menangkap impuls berupa suara hujan, lalu apa yang kita rasakan? Apakah kesedihan, rindu, atau bahagia? Atau malah semuanya dalam waktu bersamaan?

Mungkin jawaban setiap orang berbeda, tergantung kepentingan ataupun pengalaman yang dimilikinya. Satu yang mengulik keingintahuan adalah bagaimana sebuah memori bisa muncul bersamaan dengan hujan yang terkesan melankoli. Meski terasa hiperbol dan dramatik, agak sulit menampik fakta bahwa hujan membuat perasaan manusia mampu berubah-ubah seperti cara bunglon berkamuflase. Ajaibnya, lebih daripada itu, tak sedikit orang yang tiba-tiba mendapatkan inspirasi serta kekuatan. Seperti yang terjadi pada orang-orang muda khususnya, mereka bisa menjadi sangat puitis hanya karena menikmati suasana hujan.

Cakupan muasal inspirasi yang membuat seseorang menjadi puitis―dimaksud dalam hal ini adalah anak muda―dibatasi persoalan yang identik dengan kawula muda, yaitu percintaan. Namun tak lantas menjadikan ini sebagai kelemahan. Romansa pada kenyataannya adalah tema terlawas dan terpopuler bagi para pujangga. Menengok kembali di masa lampau, di mana roman selalu menguasai karya-karya sastra besar, terbukti sampai detik ini masih berlaku. Roman dengan bahasa yang mendayu-dayu, atau dengan rumus diksi yang mampu memikat hati para pembaca, buktinya tak pernah mengalami krisis pengikut. Bahkan semakin banyak jumlah pujangga dan penikmat roman, sebagaimana sifat manusia sebagai makhluk yang tidak mungkin mengabaikan cinta.

Uniknya, di antara karya-karya seni seperti roman, puisi, lagu, hingga drama, selalu ada perhatian lebih pada yang “mempersembahkan hujan” di dalam romantisme karyanya. Bahkan tak bisa dipungkiri, beberapa di antaranya menjadi karya-karya besar yang melegenda. Sebut saja pianis Yiruma, dengan karya “Kiss The Rain” yang menjadi salah satu karya terbesarnya yang mendunia. Hampir tidak mungkin bila musik instrumental ini tidak pernah didengar, sekalipun tidak mengetahui judul dan pianisnya. Ambil beberapa contoh lainnya: puisi “Hujan Bulan Juni” karangan Sapardi Djoko Damono; novel “Hujan” karya Tere Liye; lagu dari band Utopia yang juga berjudul Hujan; hingga drama Korea “Love Rain”. Tidak terbatas pada karya yang secara to the point menampakkan kata hujan pada judulnya, di karya-karya lainnya pun setting hujan menjadi bagian penting yang meninggalkan banyak kesan.

Bukan lagi zamannya mempercayai mantra, karena itulah sugesti menjadi sihir yang tanpa sadar diciptakan diri manusia sendiri. Tersugesti oleh karya-karya yang terasa lebih memikat dengan dibumbui hujan, mereka yang awalnya berhati kaku bisa mulai melunak. Apalagi saat berada dalam situasi strategis, yaitu kasmaran. Hujan menjadi teman yang dinanti-nanti para penyelam asmara, karena banyak ilham yang tersampaikan secara misterius lewat rinai-rinainya. Banyak inspirasi yang muncul bahkan dari hati yang tak pernah tergugah suatu rasa, dengan begitu ajaibnya, hujan bisa melelehkannya semudah es krim yang mencair. Seperti mata air yang keluar dari gurun tandus, kiranya juga seperti itu. Maka jangan terkejut bila seorang preman bisa menjadi pujangga tatkala terhipnotis hujan. Apalagi anak-anak muda yang sedang keranjingan segala hal berbau cinta, menjadi puitis dengan memasukkan hujan ke dalam kepuitisannya bukan lagi hal tabu. Mereka mampu menciptakan ribuan bait puisi atau berlembar-lembar cerita romansa yang sedikit menggelikan. Padahal sebelum-sebelumnya, untuk satu baris saja bisa menghabiskan waktu sebanyak bila mengerjakan soal trigonometri. Seakan-akan menulis menjadi pelajaran favoritnya. Seakan-akan hujan adalah guru sastra terbaiknya.

Di antara berbagai peristiwa alam, tak bisa disangsikan begitu saja bahwa hujan menjadi suatu pilihan favorit untuk para pengagum ciptaan Tuhan. Bahkan pelangi, yang dengan jelas menampakkan keindahan warna, tetap kalah populer dengan si pendahulunya yaitu hujan, yang bahkan tak punya warna. Sejak dahulu pelangi dianggap sebagai simbol keceriaan, atau segala hal yang indah-indah. Sementara hujan, lebih daripada keindahan semata, ada lebih banyak perasaan yang bisa dikaitkan dengannya. Warna pelangi yang ditangkap oleh mata memang beragam, namun efek dari hujan jauh lebih beragam dan berasal dari dalam diri manusia. Itulah alasan mengapa kedudukan hujan lebih tinggi beberapa derajat. Itu baru sebuah contoh. Lebih lanjut lagi karena pelangi dinikmati hanya dari tampilan visualnya saja, tetapi hujan bisa lebih daripada itu. Manusia bisa menggunakan segenap inderanya untuk menikmati hujan. Mulai dari memandang air hujan yang berjatuhan, mencium petrichor (aroma yang dihasilkan ketika hujan membasahi tanah kering, berasal dari minyak yang menguap dari tumbuhan dan geosmin yang dihasilkan beberapa mikroba), mendengar bunyi gemericik, hingga merasakan rintik-rintiknya di kulit. Satu poin tambahan lagi karena banyak orang tetap menyukai hujan meski terkadang tidak muncul pelangi sehabisnya.

Kepopuleran hujan tidak terlepas dari pengetahuan tentang proses terjadinya hujan yang lebih banyak diketahui umum, serta lebih mudah dimengerti. Bandingkan dengan fenomena alam lainnya, katakanlah badai atau aurora, cukup rumit untuk memahami dan mengingat tahapan-tahapan hingga fenomena tersebut terjadi. Tetapi, bagi sebagian orang, hujan bukan sekedar peristiwa alam sebagai bagian dari daur hidrologi. Hujan nyatanya memiliki efek adiksi. Rasa bahagia, tentram, nyaman, serta candu pada akhirnya memperkenalkan istilah “pluviophile”, sebutan bagi para pecandu hujan dalam istilah psikologi. Sebab itu, jangan terburu-buru menganggap bahwa hujan yang mempengaruhi suasana hati seseorang hanya sesuatu yang dilebih-lebihkan saja.

Di samping efek adiksi, beragam kasus menunjukkan bahwa hujan bisa membuat seseorang merasa sedih tanpa alasan, yang dikenal dengan istilah “galau”. Meskipun identik dengan kehidupan anak muda yang emosinya belum stabil, urusan rasa galau tak bisa di-anak-tiri-kan begitu saja. Rasa galau sendiri telah banyak diteliti dalam beberapa tahun terakhir, seperti yang dilakukan di Amerika dan Eropa. Galau merupakan salah satu bagian dari fenomena psikologis yang bernama SAD (Seasonal Affective Disorder). SAD adalah kondisi psikologis yang berkaitan dengan perubahan suasana hati orang di negara-negara dengan empat musim. Fluktuasi perasaan yang dialami bisa positif ataupun negatif. Gejala SAD sendiri dirasakan lebih menonjol ketika musim salju. Tetapi untuk negara tropis seperti Indonesia, gejala SAD bisa tetap terjadi pada pelbagai kondisi cuaca, bukan hanya dipengaruhi aspek geografis semata. Dalam kasus ini, hujan cukup bertanggungjawab pada munculnya SAD dengan gejala yang berbeda-beda. Namun nyatanya, perasaan galau masih menduduki peringkat pertama sebagai dampak yang ditimbulkan suasana hujan.

Pernyataan di atas sejatinya berimplikasi dengan fakta misterius yang ditemukan oleh para ilmuwan. Meskipun bukti ilmiah belum sepenuhnya ada, kemampuan hujan dalam meresonansi ingatan masa lalu manusia telah menuai banyak pengakuan. Para Ilmuwan menarik suatu kesimpulan, “Di dalam hujan ada lagu yang hanya bisa didengar oleh mereka yang rindu.” Bahkan dari kata-kata kesimpulan tersebut, bukankah mudah menemukan sebuah kesimpulan baru, bahwasanya para ilmuwan pun menggunakan bahasa yang sedikit berbeda dalam penelitian ini. Bukan sebuah kalimat ilmiah seperti biasanyadengan menggunakan bahasa saintifik yang rumitjustru digunakan bahasa yang bisa dinikmati nilai estetisnya, walaupun masih sangat sederhana. Dengan kata lain, ilmuwan seakan-akan menjadi latah. Ikut terkena pengaruh medan mellow hujan, sehingga dengan sengaja maupun tidak, dipilihlah diksi yang  puitis ketika penjelasan ilmiah tak dapat diberi.

Sebenarnya, masalah ini sudah coba dijelaskan dari sisi biologi bila dikaitkan dengan fenomena SAD. Dipaparkan dalam sebuah tulisan “Understanding Seasonal Affective Disorder” oleh Jennifer Eastwood, hujan adalah sebuah mesin yang melibatkan banyak sektor saraf dan hormon di otak seperti Hipothalamus, Glandula Pineal, Melatonin, Seretonin, vitamin D, dan Fotoperiode.

Jennifer Eastwood menjelaskan, “Hujan turun didahului oleh cuaca mendung, sehingga mata manusia akan menerima sedikit cahaya. Cahaya akan diterima sebagai sinyal oleh otak dan melewati Hipothalamus yang bertugas mengontrol beberapa aktivitas seperti tidur dan suasana hati. Setelah mencapai Hipothalamus, sinyal diteruskan ke Glandula Pineal yang memproduksi hormon Melatonin. Melatonin inilah yang mendorong seseorang lebih merasa kantuk dan melamun.

Kondisi cahaya yang lebih gelap karena mendung menyebabkan vitamin D dalam tubuh menjadi lebih sedikit. Rendahnya kadar vitamin D berimbas pada penurunan level hormon Serotonin dalam otak. Pada kondisi seperti ini juga manusia menjadi mudah melamun. Saat dalam kondisi melamun atau mengantuk, alam bawah sadar manusia cenderung memanggil banyak memori termasuk ingatan-ingatan lama seperti tentang masa kecil, orang tua, teman lama, dan yang lainnya.

Bila diperhatikan, kalimat Jennifer Eastwood di atas cukup rinci menjelaskan penyebab hujan yang mengembalikan ingatan masa lalu. Tetapi, penjelasan itu dirasa belum mampu menuntaskan misteri lainnya. Saya sendiri berpikir bahwa kekuatan hujan yang mempengaruhi perasaan manusia bukan karena satu bagian yang berdiri sendiri. Perpaduan antara tampilan visual, bau petrichor, suara, temperatur, hingga keadaan lingkungan sekitar kala hujan itulah yang berpadu membentuk “tangan gaib” yang mampu menembus tubuh manusia dan mengaduk-aduk perasaannya. Tetapi kembali lagi, efek yang ditimbullkan dengan respons setiap orang akan berbeda-beda. Seluruh penyampaian dari awal lebih dikhususkan bagi rentang usia remaja. Karena di usia inilah manusia mengalami kelabilan perasaan disebabkan belum sempurnanya jati diri. Sehingga peluang perasaan manusia untuk berubah-ubah jauh lebih besar.

Korelasi antara hujan dengan perasaan seseorangefek adiksi yang dirasakan para pluviophile; perubahan suasana hati tanpa alasan; fakta bahwa hujan mampu menghipnotis manusia dengan mengembalikan ingatan masa lalu; hingga sumbangan inspirasi pada penciptaan karya seni sastra dan kepuitisan seseorangmasih ada tanda tanya yang tertinggal. Entah kapan kita bisa mendapatkan penjelasan ilmiah yang konkret dan sempurna menggentaskan rasa penasaran. Akan tetapi, bukankah kemisteriusan inilah yang menjadikan hujan jauh lebih menarik? Seumpama guru yang mampu mengajarkan materi dengan cara yang ajaib. Saat ada muridnya bertanya, apa rahasianya sampai pelajaran ini bisa diterima dengan mudah, guru itu malah bingung. Jawabannya mungkin bersembunyi dalam diri masing-masing.


No Room Left . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates