Berguru Hujan di Pelajaran Sastra
Suatu ketika telinga kita menangkap impuls berupa suara hujan, lalu apa yang kita rasakan? Apakah kesedihan, rindu, atau bahagia? Atau malah semuanya dalam waktu bersamaan?
Mungkin jawaban setiap orang berbeda, tergantung kepentingan ataupun pengalaman yang dimilikinya. Satu yang mengulik keingintahuan adalah bagaimana sebuah memori bisa muncul bersamaan dengan hujan yang terkesan melankoli. Meski terasa hiperbol dan dramatik, agak sulit menampik fakta bahwa hujan membuat perasaan manusia mampu berubah-ubah seperti cara bunglon berkamuflase. Ajaibnya, lebih daripada itu, tak sedikit orang yang tiba-tiba mendapatkan inspirasi serta kekuatan. Seperti yang terjadi pada orang-orang muda khususnya, mereka bisa menjadi sangat puitis hanya karena menikmati suasana hujan.
Cakupan muasal inspirasi yang
membuat seseorang menjadi puitis―dimaksud dalam hal ini adalah anak muda―dibatasi persoalan yang
identik dengan kawula muda, yaitu percintaan. Namun tak lantas menjadikan ini
sebagai kelemahan. Romansa pada kenyataannya adalah tema terlawas dan
terpopuler bagi para pujangga. Menengok kembali di masa lampau, di mana roman
selalu menguasai karya-karya sastra besar, terbukti sampai detik ini masih
berlaku. Roman dengan bahasa yang mendayu-dayu, atau dengan rumus diksi yang
mampu memikat hati para pembaca, buktinya tak pernah mengalami krisis pengikut.
Bahkan semakin banyak jumlah pujangga dan penikmat roman, sebagaimana sifat
manusia sebagai makhluk yang tidak mungkin mengabaikan cinta.
Uniknya, di antara
karya-karya seni seperti roman, puisi, lagu, hingga drama, selalu ada perhatian
lebih pada yang “mempersembahkan hujan” di dalam romantisme karyanya. Bahkan
tak bisa dipungkiri, beberapa di antaranya menjadi karya-karya besar yang
melegenda. Sebut saja pianis Yiruma, dengan karya “Kiss The Rain” yang
menjadi salah satu karya terbesarnya yang mendunia. Hampir tidak mungkin bila
musik instrumental ini tidak pernah didengar, sekalipun tidak mengetahui judul
dan pianisnya. Ambil beberapa contoh lainnya: puisi “Hujan Bulan Juni” karangan
Sapardi Djoko Damono; novel “Hujan” karya Tere Liye; lagu dari band Utopia yang
juga berjudul Hujan; hingga drama Korea “Love Rain”. Tidak terbatas pada
karya yang secara to the point menampakkan kata hujan pada judulnya, di
karya-karya lainnya pun setting hujan menjadi bagian penting yang meninggalkan banyak
kesan.
Bukan lagi zamannya
mempercayai mantra, karena itulah sugesti menjadi sihir yang tanpa sadar
diciptakan diri manusia sendiri. Tersugesti oleh karya-karya yang terasa lebih
memikat dengan dibumbui hujan, mereka yang awalnya berhati kaku bisa mulai
melunak. Apalagi saat berada dalam situasi strategis, yaitu kasmaran. Hujan
menjadi teman yang dinanti-nanti para penyelam asmara, karena banyak ilham yang
tersampaikan secara misterius lewat rinai-rinainya. Banyak inspirasi yang
muncul bahkan dari hati yang tak pernah tergugah suatu rasa, dengan begitu
ajaibnya, hujan bisa melelehkannya semudah es krim yang mencair. Seperti mata
air yang keluar dari gurun tandus, kiranya juga seperti itu. Maka jangan
terkejut bila seorang preman bisa menjadi pujangga tatkala terhipnotis hujan.
Apalagi anak-anak muda yang sedang keranjingan segala hal berbau cinta, menjadi
puitis dengan memasukkan hujan ke dalam kepuitisannya bukan lagi hal tabu.
Mereka mampu menciptakan ribuan bait puisi atau berlembar-lembar cerita romansa
yang sedikit menggelikan. Padahal sebelum-sebelumnya, untuk satu baris saja bisa
menghabiskan waktu sebanyak bila mengerjakan soal trigonometri. Seakan-akan
menulis menjadi pelajaran favoritnya. Seakan-akan hujan adalah guru sastra
terbaiknya.
Di antara berbagai peristiwa
alam, tak bisa disangsikan begitu saja bahwa hujan menjadi suatu pilihan
favorit untuk para pengagum ciptaan Tuhan. Bahkan pelangi, yang dengan jelas
menampakkan keindahan warna, tetap kalah populer dengan si pendahulunya yaitu
hujan, yang bahkan tak punya warna. Sejak dahulu pelangi dianggap sebagai
simbol keceriaan, atau segala hal yang indah-indah. Sementara hujan, lebih
daripada keindahan semata, ada lebih banyak perasaan yang bisa dikaitkan
dengannya. Warna pelangi yang ditangkap oleh mata memang beragam, namun efek
dari hujan jauh lebih beragam dan berasal dari dalam diri manusia. Itulah
alasan mengapa kedudukan hujan lebih tinggi beberapa derajat. Itu baru sebuah
contoh. Lebih lanjut lagi karena pelangi dinikmati hanya dari tampilan
visualnya saja, tetapi hujan bisa lebih daripada itu. Manusia bisa menggunakan
segenap inderanya untuk menikmati hujan. Mulai dari memandang air hujan yang
berjatuhan, mencium petrichor (aroma yang dihasilkan ketika hujan
membasahi tanah kering, berasal dari minyak yang menguap dari tumbuhan dan
geosmin yang dihasilkan beberapa mikroba), mendengar bunyi gemericik, hingga
merasakan rintik-rintiknya di kulit. Satu poin tambahan lagi karena banyak orang
tetap menyukai hujan meski terkadang tidak muncul pelangi sehabisnya.
Kepopuleran hujan tidak
terlepas dari pengetahuan tentang proses terjadinya hujan yang lebih banyak
diketahui umum, serta lebih mudah dimengerti. Bandingkan dengan fenomena alam
lainnya, katakanlah badai atau aurora, cukup rumit untuk memahami dan mengingat
tahapan-tahapan hingga fenomena tersebut terjadi. Tetapi, bagi sebagian orang,
hujan bukan sekedar peristiwa alam sebagai bagian dari daur hidrologi. Hujan
nyatanya memiliki efek adiksi. Rasa bahagia, tentram, nyaman, serta candu pada
akhirnya memperkenalkan istilah “pluviophile”, sebutan bagi para pecandu hujan
dalam istilah psikologi. Sebab itu, jangan terburu-buru menganggap bahwa hujan yang
mempengaruhi suasana hati seseorang hanya sesuatu yang dilebih-lebihkan saja.
Di samping efek adiksi,
beragam kasus menunjukkan bahwa hujan bisa membuat seseorang merasa sedih tanpa
alasan, yang dikenal dengan istilah “galau”. Meskipun identik dengan kehidupan
anak muda yang emosinya belum stabil, urusan rasa galau tak bisa
di-anak-tiri-kan begitu saja. Rasa galau sendiri telah banyak diteliti dalam
beberapa tahun terakhir, seperti yang dilakukan di Amerika dan Eropa. Galau
merupakan salah satu bagian dari fenomena psikologis yang bernama SAD (Seasonal
Affective Disorder). SAD adalah kondisi psikologis yang berkaitan dengan perubahan
suasana hati orang di negara-negara dengan empat musim. Fluktuasi perasaan yang
dialami bisa positif ataupun negatif. Gejala SAD sendiri dirasakan lebih
menonjol ketika musim salju. Tetapi untuk negara tropis seperti Indonesia, gejala
SAD bisa tetap terjadi pada pelbagai kondisi cuaca, bukan hanya dipengaruhi aspek
geografis semata. Dalam kasus ini, hujan cukup bertanggungjawab pada munculnya
SAD dengan gejala yang berbeda-beda. Namun nyatanya, perasaan galau masih
menduduki peringkat pertama sebagai dampak yang ditimbulkan suasana hujan.
Pernyataan di atas sejatinya
berimplikasi dengan fakta misterius yang ditemukan oleh para ilmuwan. Meskipun
bukti ilmiah belum sepenuhnya ada, kemampuan hujan dalam meresonansi ingatan
masa lalu manusia telah menuai banyak pengakuan. Para Ilmuwan menarik suatu
kesimpulan, “Di dalam hujan ada lagu yang hanya bisa didengar oleh mereka
yang rindu.” Bahkan dari kata-kata kesimpulan tersebut, bukankah mudah
menemukan sebuah kesimpulan baru, bahwasanya para ilmuwan pun menggunakan bahasa
yang sedikit berbeda dalam penelitian ini. Bukan sebuah kalimat ilmiah seperti
biasanya―dengan menggunakan bahasa
saintifik yang rumit―justru digunakan bahasa yang
bisa dinikmati nilai estetisnya, walaupun masih sangat sederhana. Dengan kata
lain, ilmuwan seakan-akan menjadi latah. Ikut terkena pengaruh medan mellow
hujan, sehingga dengan sengaja maupun tidak, dipilihlah diksi yang puitis ketika penjelasan ilmiah tak dapat
diberi.
Sebenarnya, masalah ini
sudah coba dijelaskan dari sisi biologi bila dikaitkan dengan fenomena SAD. Dipaparkan
dalam sebuah tulisan “Understanding Seasonal Affective Disorder” oleh
Jennifer Eastwood, hujan adalah sebuah mesin yang melibatkan banyak sektor
saraf dan hormon di otak seperti Hipothalamus, Glandula Pineal, Melatonin,
Seretonin, vitamin D, dan Fotoperiode.
Jennifer Eastwood
menjelaskan, “Hujan turun didahului oleh cuaca mendung, sehingga mata
manusia akan menerima sedikit cahaya. Cahaya akan diterima sebagai sinyal oleh
otak dan melewati Hipothalamus yang bertugas mengontrol beberapa aktivitas
seperti tidur dan suasana hati. Setelah mencapai Hipothalamus, sinyal
diteruskan ke Glandula Pineal yang memproduksi hormon Melatonin. Melatonin
inilah yang mendorong seseorang lebih merasa kantuk dan melamun.
Kondisi cahaya yang lebih
gelap karena mendung menyebabkan vitamin D dalam tubuh menjadi lebih sedikit.
Rendahnya kadar vitamin D berimbas pada penurunan level hormon Serotonin dalam
otak. Pada kondisi seperti ini juga manusia menjadi mudah melamun. Saat dalam
kondisi melamun atau mengantuk, alam bawah sadar manusia cenderung memanggil
banyak memori termasuk ingatan-ingatan lama seperti tentang masa kecil, orang
tua, teman lama, dan yang lainnya.”
Bila diperhatikan, kalimat
Jennifer Eastwood di atas cukup rinci menjelaskan penyebab hujan yang
mengembalikan ingatan masa lalu. Tetapi, penjelasan itu dirasa belum mampu
menuntaskan misteri lainnya. Saya sendiri berpikir bahwa kekuatan hujan yang
mempengaruhi perasaan manusia bukan karena satu bagian yang berdiri sendiri.
Perpaduan antara tampilan visual, bau petrichor, suara, temperatur,
hingga keadaan lingkungan sekitar kala hujan itulah yang berpadu membentuk
“tangan gaib” yang mampu menembus tubuh manusia dan mengaduk-aduk perasaannya.
Tetapi kembali lagi, efek yang ditimbullkan dengan respons setiap orang akan
berbeda-beda. Seluruh penyampaian dari awal lebih dikhususkan bagi rentang usia
remaja. Karena di usia inilah manusia mengalami kelabilan perasaan disebabkan
belum sempurnanya jati diri. Sehingga peluang perasaan manusia untuk
berubah-ubah jauh lebih besar.
Korelasi antara hujan dengan
perasaan seseorang―efek adiksi yang dirasakan
para pluviophile; perubahan suasana hati tanpa alasan; fakta bahwa hujan mampu
menghipnotis manusia dengan mengembalikan ingatan masa lalu; hingga sumbangan
inspirasi pada penciptaan karya seni sastra dan kepuitisan seseorang―masih ada tanda tanya yang tertinggal. Entah kapan
kita bisa mendapatkan penjelasan ilmiah yang konkret dan sempurna menggentaskan
rasa penasaran. Akan tetapi, bukankah kemisteriusan inilah yang menjadikan
hujan jauh lebih menarik? Seumpama guru yang mampu mengajarkan materi dengan
cara yang ajaib. Saat ada muridnya bertanya, apa rahasianya sampai pelajaran
ini bisa diterima dengan mudah, guru itu malah bingung. Jawabannya mungkin bersembunyi dalam diri masing-masing.