Maaf dari Hamka
Bila kisah Hayati dan Zainudin dikenang sampai generasi kini, bagaimana dengan si empunya cerita? Ialah Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), tersohor namanya di buku-buku agama, sejarah, hingga sastra. Tidak berlebihan bila kisah hidupnya saya kutip sebagai tauladan sekaligus kerinduan akan sosok pemimpin yang berjiwa besar.
Hamka dan Soekarno—sepasang sahabat baik kala itu. Tahun 1948, Soekarno berkunjung ke Sumatera Barat. Buya Hamka pun menemui sahabatnya itu di Bukit Tinggi dengan menghadiahkan sebuah puisi berjudul "Sansai Juga Aku Kesudahannya".
Tahun 1955 Hamka terpilih menjadi anggota Konstituante. Namun, pandangan politik yang berbeda telah merenggangkan hubungan keduanya. Dengan segenap fraksi partainya, Hamka ingin memperjuangkan negara berdasarkan Islam, sedangkan presiden ingin mempertahankan negara berdasarkan Pancasila. Hubungan dua orang sahabat yang sudah seperti keluarga ini pun terputus.
Titik puncaknya terjadi saat Hamka mengkritik pemerintah yang akan menerapkan sistem demokrasi terpimpin. Tercatat dalam sejarah, konstituante pun dibubarkan oleh presiden tahun 1959. Karena perlawanan yang dilakukan, para pemimpin Masyumi ditangkap dan dipenjarakan, termasuk Buya Hamka. Tanpa adanya pengadilan, beliau ditahan disusul larangan peredaran buku-buku karangannya.
Selama di kurungan, hanya kesepian yang menemani Hamka. Tetapi karena itulah, ia bisa mengingat Allah lebih banyak dan lebih dekat. Malam-malamnya ditemani tarian penyembahan. Rohaninya mengembara meski raganya dalam penjara. Hingga terciptalah sebuah karya besarnya: Tafsir Al-Azhar—tafsir Al-Qur'an 30 Juz.
Setelah menghirup udara bebas, Buya Hamka tak tahu bagaimana kabar Presiden Soekarno. Bukan dendam, keluhan, atau tuntutan yang disimpannya, justru kerinduan ingin berjumpa. Ingin sekali ia berterima kasih atas hukuman yang diberikan kepadanya. Jika saja ia tak berada dalam penjara, mungkin tafsir qur'annya tak pernah jadi, bahkan tak pernah ada.
Tetapi, di manakah Soekarno?
Maka pertanyaan Hamka pun terjawab. Menurut sebuah sumber, pada 16 Juni 1970, Kafrawi, Sekjen Departemen Agama di saat itu, datang menemui Hamka. Pagi-pagi sekali sekjen itu datang dengan membawa secarik kertas dan diberikannya kertas itu. Rupanya itu sebuah pesan, mungkin pesan terakhir, dari seorang sahabat yang selama ini dirindukannya: Soekarno.
"Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam salat jenazahku."
Buya Hamka menatap tulisan di dalam kertas itu, meresapinya makna yang telah diketahuinya.
"Jadi beliau sudah wafat?" Buya bertanya pada Pak Kafrawi.
"Iya. Bapak Soekarno telah wafat di RSPAD. Sekarang jenazahnya telah dibawa ke Wisma Yaso."
Sempurnalah sudah jawaban kerinduan Buya Hamka.
Akhirnya, dua sahabat yang terpisah ini bertemu kembali. Hanya saja dalam keadaan berbeda—yang satu tengah berdiri, yang satu lagi telah tertidur dalam peti. Mungkin, permintaan itu adalah isyarat permohonan maaf Soekarno pada Hamka. Atas semua peristiwa yang telah terjadi, perseteruan hingga penahanan ini, nyatanya Soekarno tak pernah membenci Hamka, dan Hamka pun tak pernah dendam pada Soekarno. Seindah itulah persahabatan manusia.
Tetapi selesai salat, ada yang bertanya padanya, "Apa Buya tidak dendam kepada Soekarno yang telah menahan Buya sekian lama di penjara?" Bahkan ada yang sempat mengatakan kalau Soekarno itu munafik.
Buya Hamka tersenyum.
"Hanya Allah yang mengetahui seseorang itu munafik atau tidak. Yang jelas, sampai ajalnya, dia tetap seorang muslim. Kita wajib menyelenggarakan jenazahnya dengan baik. Saya tidak pernah dendam dengan orang yang pernah menyakiti saya. Dendam itu termasuk dosa. Selama dua tahun empat bulan saya ditahan, saya merasa semua itu anugerah dari Allah kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan Kitab Tafsir Al-Qur'an 30 Juz. Bila bukan dalam tahanan, tidak mungkin ada waktu saya untuk mengerjakan dan menyelesaikan pekerjaan itu," jawab Buya dengan lembut.
Sungguh, begitu luas hati Buya Hamka. Penerimaan terbaik selalu diberikannya. Tak perlu dendam dan kebencian, karena hidup berhak atas kedamaian. Kisah ini mengingatkan saya bagaimana Gandhi berkata, "Yang lemah tidak pernah bisa memaafkan. Memaafkan adalah atribut yang kuat."
Maka tanyakanlah: seangkuh apakah kita berani mengaku kuat, bila maaf saja masih terasa berat?